Minggu, 23 Februari 2014

Haruskah Berpisah Karena Iman Ternoda ?

Pertanyaan : Saya punya permasalahan yang teramat berat menurut saya. Peristiwa ini sudah berlangsung dua tahun sejak kelahiran putra kami yang ketiga. Keyakinan suami saya ternoda oleh aliran yang tidak jelas. Tahajud, sholat di mushola, baca Al-Qur’an, semua yang menjadi kebiasaannya dulu ditinggalkan karena menurut gurunya tidak penting. Mohon jalan keluar karena saya sudah ikhtiar ke mana-mana tapi orang selalu menjawab harus berpisah karena beda keyakinan. Apakah harus seperti itu? Terima kasih atas tanggapannya. (Tutut, Pekalongan).

Jawaban :
Ibu Tutut di Pekalongan yang dimuliakan Allah. Kami memahami betapa permasalahan ini memang berat. Namun kami optimis bahwa ibu dapat menghadapinya dengan baik karena ibu adalah seorang istri dan seorang ibu yang memberikan perhatian besar kepada ibadah, hal yang tidak dilakukan oleh banyak orang di jaman sekarang ini. Artinya keluarga ibu sebelum ini telah melakukan kebiasaan ibadah dengan porsi lebih, bukan sekedar menggugurkan kewajiban, tapi juga menambahkannya dengan ibadah-ibadah sunnah dan rutin membaca Al-Qur’an.

Yang kami pahami dari pertanyaan di atas, kegelisahan ibu bermula setelah suami meninggalkan ibadah-ibadah sunnah tersebut, bukan karena beliau berpindah agama. Keyakinan yang menjadikan seseorang itu dianggap murtad dan selanjutnya berkonsekuensi pada hukuman berat yang bukan hanya diceraikan oleh hakim, tapi juga hukuman mati adalah apabila ia tidak lagi yakin akan kebenaran Islam termasuk apabila ia menolak atau tidak meyakini kewajiban rukun Islam yang lima dimana shalat merupakan salah satu diantaranya.

Rasulullah SAW bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat, karena itu barangsiapa meninggalkannya berarti ia telah kafir,” (H.R. Ahmad dan Ashabus Sunan).

Kekafiran itulah yang kemudian berkonsekuensi pada penceraian karena di antara syarat sahnya perkawinan adalah Islam. Wanita muslimah hanya halal dinikahi oleh laki-laki muslim, berdasar firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an, “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman,” (Q.S. An Nisa: 141).

Karena itu, menurut hemat kami meskipun keshalihannya berkurang, suami ibu masih muslim dan tidak harus bercerai. Apalagi perceraian itu adalah abghadul halaal (barang halal yang paling dibenci). Sebaliknya, perkawinan merupakan jalinan kokoh yang sangat luhur dan sakral hingga Al-Qur’an menyebutnya sebagai mitsaqan ghalizhan (perjanjian kokoh). Istilah ini digunakan untuk perjanjian teramat penting sebagaimana perjanjian yang diambil dari kalangan Bani Israil untuk konsisten dengan syariat Allah SWT yang diturunkan melalui Nabi Musa a.s. (Q.S. An-Nisa: 154) dan perjanjian yang diambil dari para nabi dan khususnya ulul ‘azmi di antara mereka untuk menyampaikan risalah ini kepada seluruh umat manusia (Q.S. Al-Ahzab: 7).

Perkawinan bukan sekedar hubungan di dunia, tapi berkaitan dengan tanggung jawab agama dan nasib kita di akhirat sebagaimana perjanjian yang diambil dari para nabi. Karena itu pula, ia tidak boleh dilepas begitu saja kecuali dengan alasan yang syar’i. Di antara alasan syar’i itu adalah tidak terpenuhinya syarat sahnya perkawinan, di antaranya Islam. Maksud saya, laki-laki yang menikahi seorang muslimah harus beragama Islam. Bila syarat ini tidak terpenuhi, maka perkawinan menjadi tidak sah. Bila keislamannya hilang setelah menikah, berarti  jalinan perkawinan itu batal. Seperti halnya orang shalat, bila wudhunya batal saat menjelang salam, maka seluruh shalatnya dianggap batal.

Bimbingan Agama

Yang kami herankan adalah ajaran yang dipegang oleh suami ibu. Aliran apakah itu yang menyebabkannya tidak lagi shalat tahajjud, puasa sunnah, dan baca Al-Qur’an? Hal ini perlu diklarifikasi. Benarkah ia mengaji atau mengikuti aliran tertentu. Kalau benar, perlu diklarifikasi pula, benarkah gurunya dalam aliran tersebut mengajarkan hal-hal yang demikian? Bila ternyata gurunya memang mengajarkan yang demikian itu, maka gurunya perlu diluruskan oleh pihak-pihak yang berkompeten, baik itu personal semacam kiai, ustadz, maupun lembaga semacam MUI, Ikadi, NU, Muhammadiyah, dan lain-lain. Kalau ternyata tidak, berarti permasalahannya ada pada pribadi suami ibu. Ajaklah ia berkunjung ke orang-orang shalih, para ulama dan ustadz atau ke majlis-majlis ilmu dan dzikir. Di sana ia akan menemukan jalan yang lurus insya Allah.

Yang tidak kalah penting adalah jangan lupa untuk terus mendoakan suami. Mohon bantuan kepada Allah SWT agar suami mendapatkan hidayah dan dibukakan pintu hatinya agar mau melakukan ibadah kembali. Semoga Allah SWT senantiasa menjaga iman dalam hati ibu dan sekeluarga. Aamiin.

Ust Jasiman, Lc

1 komentar: