Minggu, 23 Februari 2014

Mengatasi Anak Yatim yang Bandel

Pertanyaan : Assalamu’alaikum Ustadz, saya ingin bertanya. Bagaimana cara menghadapi anak yatim yang bandel sekali? Jika seorang ibu yang memiliki anak yatim menikah lagi, apakah anak tersebut masih dikatakan anak yatim atau tidak? Terima kasih untuk penjelasannya. (Miftakhudin, Pemalang)
Wa’alaikumsalam wa rahmatullah wa barakatuh.

Jawaban : Mas Miftah di Pemalang, semoga rahmat Allah dan keberkahan-Nya selalu menyertai Anda.

Sebagian orang memang mengatakan bahwa anak yatim itu nakal, bandel, tidak nurut, susah dididik, dan sejenisnya. Menurut hemat saya, kalau memang anak yatim tersebut benar-benar nakal, kenakalan itu bukan karena keyatimannya melainkan karena faktor lain. Buktinya? Banyak anak yatim yang juga nurut, soleh, dan pintar.

Kenakalan pada anak yatim itu lebih banyak disebabkan karena ia tidak mendapatkan kasih sayang sebagaimana anak-anak sebaya yang kedua orang tuanya masih lengkap, dekat, membersamai, dan menyayanginya. Kenakalan pada anak yatim seringkali muncul karena ia merasa tidak mendapatkan perhatian dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Hal semacam ini juga kadang terjadi pada anak-anak yang tidak yatim yang kurang mendapatkan perhatian. Hanya saja kenakalan pada anak yang tidak yatim biasanya kemudian tidak berlangsung lama karena ada orang tua yang memenuhi kebutuhannya.

Oleh karena itu, menjadi kewajiban dari pengasuh anak yatim untuk memberi perhatian kepada anak yatim agar tidak menjadi anak yang nakal hanya karena kurang perhatian. Memang terasa berat. Maka dari itu,  pantas lah jika orang yang mengasuh anak yatim, membimbing, dan mendidiknya dengan tulus akan mendapatkan pahala besar berupa surga, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Aku dan pengasuh anak yatim itu di surga seperti ini (sambil menggerakkan jari telunjuk dan jari tengah),” (H.R. Bukhari).

Karena mendidik anak –termasuk anak yatim—itu ibadah maka lakukanlah ibadah ini dengan tulus ikhlas dan senatiasa memohon bimbingan-Nya. Semoga Mas Miftah termasuk dalam orang-orang yang mendapat bimbingan dari Allah SWT dan memperoleh balasan surga karena kerelaannya mengasuk anak yatim.

Lalu siapakah yang sebenarnya disebut sebagai anak yatim itu? Disebutkan dalam kamus fiqih jilid 1 hal 392 bahwa yatim adalah anak kecil yang kehilangan bapak. Kehilangan di sini dapat berarti bahwa bapaknya meninggal, sakit, pergi, ditahan, maupun kondisi lain yang menyebabkannya tidak dapat membersamai anaknya.  Dengan demikian batasan keyatiman dapat diperluas kepada anak terlantar, anak jalanan, dan sejenisnya.

Adapun batasan usianya, jumhur ulama berpendapat bahwa status keyatiman itu sampai batas baligh. Pendapat ini didasarkan kepada sabda Nabi SAW, “Tidak ada keyatiman setelah ihtilam (keluar air mani bagi anak laki-laki) dan tidak ada keyatiman bagi anak perempuan setelah ia haid,” (Al Mu’jamul Kabir – At Tabhrani).

Realitas yang terjadi di masyarakat kita, kematangan biologis tidak selalu bersamaan dengan kematangan mental dan kematangan finansial. Bahkan banyak kita jumpai orang yang dewasa secara biologis, tetapi belum dewasa secara mental maupun finansialnya. Realitas ini menunjukkan relevansi pendapat sebagian ulama yang berpendapat bahwa batas keyatiman adalah rusyd (kematangan mental dan intelektual) yang menjadikannya dianggap mampu untuk mengelola harta (kematangan ekonomi dan finansial).

Hal ini didasarkan kepada firman Allah SWT, “Dan ujilah anak-anak yatim hingga apabila mereka telah mencapai nikah; apabila kalian mendapati pada diri mereka maka serahkanlah harta mereka kepada mereka,” (Q.S. An-Nisa ayat 6). Oleh karena itu keberadaan anak yatim yang ibunya menikah lagi dengan laki-laki lain itu bukan merupakan tolok ukur. Yang menjadi tolok ukurnya adalah kematangan itu sendiri, bukan dari ada atau tidaknya bapak.

Pada kasus dimana ibu si anak itu menikah lagi dengan laki-laki lain, ayah tirinya itu berperan sebagai kafilul yatim. Hendaknya dia memberikan cinta dan kasih sayangnya sebagaimana ia memberikan  kepada anak kandungnya sendiri. Ia adalah lelaki yang Allah SWT utus untuk menggantikan peran bapaknya yang telah tiada. Dalam hal ini termasuk dengan memberikan perhatian agar anak menjadi penurut dan tidak dicap sebagai anak yatim yang bandel. Dengan segala bentuk kasih sayang dan perhatian yang diberikan kepada anak yatim tersebut,  dia pantas berbahagia dengan kabar gembira dari Rasulullah SAW, bahwa ia akan mendapatkan keberkahan yang banyak dari Allah dan di akhirat nanti berdampingan dengan Rasulullah SAW di surga. Insya Allah.

Ust. Jasiman, Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar