Senin, 24 November 2014

Bolehkan Wanita Sholat (Tarawih) Berjamaah di Masjid ?

PERTANYAAN : Assalamualaikum. Pak Ustadz, Saya mau bertanya tentang fiqh : Bagaimana hukum wanita shalat di masjid ? Terima kasih sebelumnya pak Ustadz. Wassalamu’alaikum wr wb.

JAWABAN :Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh.
Pertanyaan tentang hukum wanita keluar untuk sholat di masjid berjamaah cukup sering kita dengar, khususnya pada saat bulan Ramadhan, dimana kaum muslimin berbondong-bondong menuju masjid di malam hari untuk menunaikan sholat tarawih berjamaah selepas sholat isya.  Pertanyaan semacam ini tentu harus kita apresiasi karena menunjukkan kepedulian dan kehati-hatian dalam menjalankan ajaran syariat.

Meski pada sisi lain, jika kita melihat dalam realitas dunia modern saat ini, justru lebih banyak wanita yang keluar rumah untuk menuju banyak tempat, seperti pasar, kampus, kantor, lapangan, tempat wisata dan lain sebagainya dari pada yang menuju masjid. Sehingga kadang terbersit pernyataan dalam hati, apakah mungkin sepinya masjid dari kaum wanita –sementara ke tempat-tempat lain banyak wanita-  karena memahami adanya larangan secara khusus bagi mereka untuk ke masjid ?

DIBOLEHKAN ATAU DILARANG ?
 Jika kita mencermati dalam Al-Quran maupun Hadits, jelas tidak pernah disebutkan larangan bagi wanita untuk sholat di masjid. Justru yang ada adalah anjuran atau perintah kepada para suami untuk tidak melarang istri-istri mereka ke masjid. Rasulullah SAW bersabda : “Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk pergi ke masjid.” (HR. Ahmad dan Abu Daud). 

Dan hal itulah yang terjadi pada masyarakat madinah jaman Rasulullah SAW, dimana para wanita juga turut sholat berjamaah di masjid. Ada beberapa riwayat yang menunjukkan kaum wanita di masa Rasulullah SAW, mengikuti sholat berjamaah di masjid, salah satunya yang paling jelas adalah riwayat dari Aisyah ra, dimana beliau mengatakan : “Mereka wanita-wanita Mukminah menghadiri shalat shubuh bersama Rasulullah SAW dalam keadaan berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka hingga mereka (selesai) menunaikan shalat tanpa ada seorangpun yang mengenali mereka karena masih gelap.” (HR. Bukhari )

Berdasarkan hal di atas, menurut sebagian ulama seperti Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah, para wanita diperbolehkan untuk mengikuti sholat berjamaah di masjid khususnya jika bebas dari fitnah seperti sudah tua, dan sebagian ulama lain seperti Abu Hanifah  lebih berhati-hati dengan mengatakan makruh khususnya jika terdapat kemungkinan fitnah.

Sehingga menarik untuk dicatat, bahwa kebolehan ini tidak berlaku secara mutlak namun harus memenuhi setidaknya dua syarat, yaitu :

Pertama adalah ijin dari suami, karena Rasulullah SAW bersabda :  “jika istri-istrimu meminta izin ke masjid-masjid, maka izinkanlah mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Hibban). Ijin ini diperlukan karena suami adalah pemimpin sekaligus penanggung jawab sebuah keluarga, yang harus ditaati oleh istri selama bukan dalam hal meninggalkan kewajiban syariat atau menjalankan kemaksiatan.

Adapun syarat Kedua, adalah :  Tidak memakai wangi-wangian dan hal lainnya yang mengundang ketertarikan dan fitnah bagi lawan jenis. Rasulullah SAW bersabda : “Janganlah kamu melarang hamba Allah pergi ke masjid-masjid Allah, tetapi hendaklah mereka keluar tanpa wangi-wangian.” (HR. Abu Dawud, Ahmad) . Dalam riwayat lain, beliau secara tegas mengungkapkan: “perempuan mana saja yang memakai wangi-wangian, kemudian ia pergi ke masjid, maka tidak diterima sholatnya sehingga dia mandi.” (HR. Ibnu Majah). Larangan wangi-wangian ini juga bisa diqiyaskan dengan hal-hal yang mengundang fitnah atau menggoda lawan jenis, seperti pakaian yang ketat, tipis, dan hal yang semacamnya.

MANA YANG LEBIH UTAMA ?
Setelah mengetahui hukum kebolehan seorang wanita sholat di masjid, biasanya hal berikutnya yang sering ditanyakan adalah mana yang lebih afdhol atau lebih utama antara sholat di masjid dan di rumah bagi seorang wanita.  Dalam hal ini kita bisa cermati sebuah riwayat dari dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As Saa’idiy. Wanita itu pernah mendatangi Nabi SAW dan berkata bahwa dia sangat senang sekali bila dapat shalat bersama beliau. Kemudian Nabi SAW pun menjawab : ”Aku telah mengetahui bahwa engkau senang sekali jika dapat shalat bersamaku. …  Shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.” (HR Ahmad). 

Dari riwayat secara umum bisa kita tangkap bahwa sholat wanita di rumahnya lebih baik dari pada di masjid. Namun permasalahan tidak sesederhana itu, para ulama lebih memperinci bahasan ini, salah satunya dengan membandingkan dengan dari sisi berjamaah atau tidak. Karena sudah sama diketahui bahwa sholat berjamaah jauh lebih utama dari pada sholat sendirian, sebagaimana sabda Rasulillah SAW : ”Shalat berjama’ah itu lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat.” (HR. Bukhari dan Muslim).   Karena itu dalam kondisi pilihan sama-sama berjamaah, maka sholat wanita di rumahnya lebih utama berdasarkan hadits di atas. Namun jika tidak, maka sholat berjamaah tentu lebih utama dari sendirian.

Syeikh Dr. Yusuf Qardhawi, Ketua Persatuan Ulama Muslimin Internasional, memiliki cara pandang yang menarik tentang mana yang lebih afdhol bagi wanita, sholat di rumah atau di masjid. Beliau mengatakan : Sholat wanita di rumahnya lebih utama (afdhol) dari pada sholatnya di masjid, (dengan syarat) jika kepergiannya ke masjid tanpa kepentingan dan manfaat lainnya, jadi hanya sholat saja. Namun jika kepergiannya ke masjid juga untuk mendapatkan manfaat lainnya, seperti mendengarkan ceramah agama, mengikuti kajian keilmuan, mendengarkan tilawah Al-Quran dari para qori, maka kepergian mereka ke masjid menjadi lebih afdhol dan lebih utama.

Sisi pandang inilah yang saat ini dicermati oleh para ulama, khususnya saat sholat tarawih Ramadhan di zaman ini. Jika wanita sholat tarawih di rumah justru malah merasa malas, tidak semangat, tidak khusyuk, ingin cepat selesai, bahkan sebagian tidak berhasil menyempurnakan bilangan tarawihnya, sementara jika sholat tarawih berjamaah di masjid mereka bersemangat, bertemu dengan para saudarinya untuk saling mengingatkan dan meningkatkan ukhuwah, juga mendengarkan ceramah agama, serta lebih khusyuk dengan mendengarkan bacaan para qori yang merdu, maka pada saat itulah kondisi wanita ke masjid menjadi lebih dari sekedar dibolehkan, namun menjadi hal yang baik dan dianjurkan.

Dalam fatwa Nur ala Darbi yang dirilis Lembaga Pusat Fatwa dan Riset Ilmiah Kerajaan Saudi, saat ada pertanyaan : Apakah boleh bagi wanita untuk sholat di masjid bersama kaum laki-laki saat sholat tarawih ? Maka mereka menjawab :  Betul boleh, dianjurkan bagi mereka untuk sholat tarawih di masjid jika dikhawatirkan mereka akan malas saat mengerjakan di rumahnya. Jika tidak, maka sholat dirumahnya lebih utama. Namun jika ada kepentingan untuk ke masjid maka hal itu menjadi tidak masalah. Karena dahulu para wanita sholat bersama Rasulullah SAW lima waktu, walaupun beliau bersabda : “ sholat di rumah lebih baik bagi mereka (para wanita)”.  Namun sebagian wanita bisa merasa malas dan menjadi lemah saat mau menjalankan tarawih di rumahnya. Maka jika keluarnya mereka ke masjid dengan kondisi tertutup, berhijab dan tidak tabarruj (berhias), dengan maksud sholat, dan mendengar ceramah para ahli ilmu, maka mereka akan mendapat pahala karena hal tersebut adalah tujuan yang baik.

Demikian, apa yang bisa kami jawab terkait hukum wanita mengikuti sholat berjamaah secara umum, dan secara khusus saat bulan Ramadhan. Semoga bermanfaat dan wallahu a’lam bisshowab. 
 
( Hatta Syamsuddin)

*artikel dimuat di rubrik konsultasi fiqh di majalah Al Abidin

Kamis, 27 Februari 2014

Momongan dan Istihadhoh

Saya sudah 7 tahun menikah tapi belum punya momongan. Saya mempunyai masalah menstruasi. Kadang menstruasi lebih dari 2 minggu, berhenti 1 minggu, lalu menstruasi lagi. Bagaimana dengan ibadah saya ustadz? (Yanti, Kebumen).

Ibu Yanti yang dimuliakan Allah, ada dua hal yang perlu saya sampaikan.
Pertama, tentang belum ada momongan. Anda tidak perlu risau. Banyak pasangan yang usia pernikahannya jauh lebih panjang dan tidak diberi momongan. Yakinlah bahwa Allah selalu memberi yang terbaik. Tentu, bukan berarti tidak berusaha. Kalau sudah usaha ini itu namun belum berhasil hingga manapouse, mungkin memang takdirnya tidak diberi momongan dari rahim sendiri.
Tidak mengapalah sekiranya naluri keibuan Anda disalurkan kepada anak-anak lain yang membutuhkan kasih sayang. Anda dapat menjadi orang tua asuh bagi anak-anak yatim atau telantar. Saya sarankan Anda mentadabburi Q.S. Ali Imran ayat 35 – 60.

Yang kedua, ketidakteraturan menstruasi yang Anda alami ini dalam fiqh disebut istihadhah. Darah istihadhah adalah darah yang keluar dari farji di luar kebiasaan waktu haid maupun nifas. Darah ini mengalir karena urat yang terputus secara terus-menerus dan terjadi selama-lamanya atau 1-2 hari dalam sebulan.
Untuk itu, Anda harus mengingat kebiasaan Anda haid tanggal berapa dan berapa hari. Di luar kebiasaan itu namanya istihadhah. Anda juga dapat memperhatikan sifat-sifatnya karena sifat darah haid berbeda dengan istihadhah.

Karena bukan haid, pada saat istihadhah hukumnya sama dengan wanita yang suci. Apabila sebelum istihadhah haidnya teratur, dia harus meninggalkan shalat saat masa haid. Setelah masa haid berakhir, ia mandi, mengerjakan shalat, puasa, dan boleh berhubungan badan.
Rasulullah SAW mengatakan kepada Ummu Salamah r.a., “Hitunglah berdasarkan bilangan malam dan hari dari masa haid pada bulan berlangsungnya, sebelum dia terkena serangan darah penyakit (istihadhah) yang menimpanya. Maka tinggalkanlah shalat sebanyak bilangan haid yang biasa dia jalani setiap bulannya. Apabila ternyata lebih dari batas yang berlaku, hendaklah dia mandi, lalu memakai pembalut dan mengerjakan shalat,” (H.R. Abu Dawud dan An-Nasai).

Bila haidnya tidak teratur, lupa masa haid yang biasa dialaminya, sementara darahnya berubah-ubah warna hitam pekat atau merah, maka ketika darah itu berwarna hitam, dia tidak wajib shalat maupun puasa dan tidak boleh berhubungan badan. Namun bila sudah melewati masa 15 hari, dia harus bersegera mandi besar dan mengerjakan shalat setelah berhentinya darah hitam.

Rasulullah SAW mengatakan kepada Fatimah binti Abi Jahsyin, “Jika darah haid, dia berwarna hitam seperti yang diketahui banyak wanita. Jika yang keluar adalah darah seperti itu maka tinggalkanlah shalat. Jika yang keluar adalah darah lain (warnanya, yakni darah istihadhah), berwudhulah setelah mandi dan laksanakan shalat. Karena darah itu adalah darah penyakit,” (H.R. Abu Dawud dan An-Nasai).

Bila haidnya tidak teratur dan darahnya tak dapat dibedakan, ada sebuah hadits dari Hamnah binti Jahsyin. Dia menceritakan: Aku pernah mengalami istihadhah. Darah yang keluar sangat banyak. Aku datang pada Rasulullah SAW untuk meminta fatwa. Beliau bersabda, “Sesungguhnya darah itu keluar akibat hentakan setan. Jalanilah masa haidmu selama 6 atau 7 hari, kemudian mandilah. Jika kamu telah melihat bahwa dirimu telah suci dan bersih, shalatlah pada 24 atau 23 hari berikutnya (pada masa suci) serta puasalah. Cara seperti itu boleh  kamu lakukan. Di samping itu lakukanlah sebagaimana yang dilakukan oleh wanita-wanita yang menjalani masa haid setiap bulannya” (H.R. Tirmidzi).
Secara ringkas, teknis shalat bagi wanita istihadhah adalah:
  1. Cuci darah istihadhah, tutup rapat kemaluan dengan pembalut. Rasulallah SAW bersabda kepada Hamnah binti Jahsy r.a., “Aku beritahukan kepadamu (agar menggunakan) kapas kerena kapas dapat menyerap darah” Hamnah berkata: “Darahnya lebih banyak daripada itu” Rasulallah SAW bersabda lagi: “Maka pakailah penahan” (H.R. Abu Daud dan At-Tirmidzi).
Jika masih tetap keluar setelah diberikan penahan, darah yang keluar (rembas) tidak membatalkan wudhu dan shalatnya sah. Karena kesulitan baginya untuk mencegah darah yang keluar.
  1. Wajib mengulangi mencuci darah dan menutup kemaluan dengan pembalut setiap akan wudhu.
  2. Tidak boleh berwudhu sebelum masuk waktu shalat
  3. Satu wudhu hanya bisa berlaku untuk satu shalat fardhu saja kecuali shalat sunah boleh dilakukan sekehendaknya.
  4. Harus segera shalat setelah berwudhu. Jika shalatnya ditunda, wudhunya wajib diulangi karena dikuatirkan darah akan keluar lebih banyak lagi.

Menqodho Dulu atau Puasa Sunnah ?

Saya masih hutang puasa Ramadhan tahun ini. Ketika tanggal 9 Dzulhijah atau 10 Muharam, lebih baik saya niat untuk melunasi hutang puasa Ramadhan atau niat puasa sunah? (Santi, Tegal)

Ibu Santi di Tegal yang dimuliakan Allah,
Sungguh merupakan rahmat dan kebijaksanaan Allah SWT manakala memberi kesempatan kepada orang-orang yang tidak dapat menunaikan kewajiban pada waktunya untuk melakukannya di waktu lain. Syariat yang demikian lazim disebut sebagai qadha. Allah tidak mungkin membebani hamba-Nya dengan hal-hal yang tidak mungkin dilaksanakan.
Tentang hal ini Allah swt. berfirman, “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,” (QS. Al Baqarah : 184)

Bagaimana melaksanakan qadha puasa Ramadhan ketika Anda juga ingin melakukan puasa sunnah?
Afdhalnya adalah segera menunaikannya apabila mampu karena hutang kepada Allah lebih berhak untuk segera dilunasi. Namun menurut hemat saya, kita dapat mengerjakan kedua amal tersebut tanpa harus bingung mau mendahulukan yang mana. Demikian itu karena mengqadha puasa Ramadhan termasuk wajibun ‘ala at taraakhi walaisa ‘alal fauri (kewajiban dengan rentang waktu yang longgar dan tidak harus segera), karena waktunya sebelas bulan yakni sampai bulan Sya’ban yang akan datang.
Pada saat kita menunaikannya pada waktunya dan waktu untuk melaksanakan qadha puasa Ramadhan itu sebelas bulan, maka tidak berdosa meskipun pelaksanaannya di bulan Sya’ban misalnya.
Disebutkan dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad bahwa Aisyah r.a. dulu mengqadha kewajiban puasa Ramadhannya di bulan Sya’ban dan tidak mengqadhanya segera pada saat mampu.

Di samping itu, dalam pelaksanaannya juga tidak harus berturut-turut. Imam Ad Daruqutni meriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa Nabi saw. bersabda tentang qadha Ramadhan, “Kalau dia mau dia melakukannya terisah-pisah, kalau mau boleh juga berturut-turut.
Untuk itu, pelaksanaan qadha puasa Ramadhan dapat dicicil terpisah-pisah di luar hari-hari tertentu yang disebut sebagai hari puasa sunnah. Dengan begitu Anda akan mendapat fadhilah dan pahala dari seluruh kesempatan berpuasa itu.

Masalah lain adalah bagaimana halnya kalau sampai bulan Sya’bannya habis ia belum menunaikan qadha itu. Para ulama berijtihad dan terdapat 3 pendapat berbeda:

1. Jumhur ulama berpendapat bahwa barangsiapa menunda qadha puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya maka ia wajib membayar fidyah yaitu memberi makan satu orang miskin setiap hari yang ia tidak puasa secukupnya, makan siang dan makan malam. Fidyah ini lebih ditekankan apabila penundaan tersebut dilakukan tanpa ada uzur.
Mereka mendasarkan hukum ini kepada hadits mauquf pada Abu Hurairah r.a. Artinya, ini hanya ucapan Abu Hurairah dan bukan sabda Rasulullah SAW.

2. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban membayar fidyah apabila ia mengqadha. Demikian itu karena berkenaan dengan orang-orang yang sakit dan musafir. Allah SWT berfirman, “Maka ia mengqadha pada hari yang lain” dan tidak memerintahkan fidyah. Hadits yang diriwayatkan tentang kewajiban fidyah itu dhaif dan tidak dapat dijadikan sebagai dalil.
Imam As Syaukani dalam Nailul Authar menguatkan pendapat ini dengan mengatakan bahwa tidak ada hadits yang kuat dari Nabi SAW tentang hal ini. Perkataan sahabat bukan hujjah. Pilihan jumhur ulama pada suatu pendapat tidak selalu menunjukkan bahwa ia benar, sementara memang tidak ada beban hingga ada dalil yang menunjukkan hal itu. Nah, di sini tdk ada dalil, maka secara zhahir tidak wajib.

3. Imam Syafi’i berkata bahwa kalau penundaan qadha itu terjadi karena uzur maka tidak ada fidyah; kalau tidak ada uzur maka wajib membayar fidyah. Pendapat inilah yang moderat di antara dua pendapat sebelumnya meskipun hadits dhaif atau mauquf yang menyebut tentang disyariatkannya kafarat (fidyah) itu tidak membedakan antara ada uzur dan tidak ada uzur. Barangkali pendapat ini pula yang dapat melegakan hati karena mengakomodasi perbedaan pendapat dengan satu format baru.

Ust. Jasiman, Lc

Senin, 24 Februari 2014

Suami Bohong dan Tidak Sholat

Pertanyaan : Assalamu’alaikum ustadz, saya ingin bertanya. Bagaimana caranya agar suami saya mau sholat dan berkata jujur? Walaupun hanya hal-hal kecil, tapi suami saya sering sekali berbohong pada siapapun. Saya sudah sering menasihati, tapi tidak pernah dihiraukan. Mohon nasihatnya, ustadz. Terima kasih. (Sri, Solo)

Wa’alaikumussalam warahmatullahi ta’ala wabarakatuh.

Jawaban :
Ibu Sri yang baik, semoga Allah SWT memberikan kesabaran yang berlipat kepada Anda. Saya memahami bahwa persoalan yang Anda hadapi ini memang berat. Saya memahami bahwa Anda sangat resah dan gelisah karena mendapati suami Anda tidak mau sholat. Padahal kita semua tahu bahwa sholat merupakan tiang agama. Siapa yang menegakkannya berarti ia menegakkan agama dan siapa yang merobohkannya berarti merobohkan agama. Sholat juga merupakan kunci surga karena ia adalah amal yang pertama kali diperhitungkan. Jika sholatnya beres, amalan yang lain akan mengikuti.

Rasululllah SAW bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali diperhitungkan oleh Allah  SWT dari amal-amal hamba di hari kimataadalah sholatnya. Kalau ia baik, maka ia beruntung dan berhasil. Kalau dia rusak, berarti dia tidak mendapatkan apa-apa dan rugi” (HR. Tirmidzi).

Beban lain yang menekan Anda adalah karena suami yang suka berbohong kepada siapapun. Sifat ini tentu membuat Anda sangat galau dan merasa tidak nyaman. Tidak seorang pun di dunia ini yang mau dibohongi. Di samping itu, kebohongan juga merupakan pangkal dari segala keburukan. Kejujuran merupakan induk kebajikan dan dusta adalah induk segala perbuatan dosa. Sebagaimana sabda dari Rasulullah SAW bahwa kejujuran akan menunjukkan kepada kebajikan, dan kebajikan akan menunjukkan kepada surga; sebaliknya, dusta akan menunjukkan kepada dosa, dan sesungguhnya dosa itu akan mengantarkan ke neraka.

Namun, sekalipun suami Anda suka berbohong dan meninggalkan sholat, dia tetaplah suami Anda. Barangkali ini adalah sebuah ladang amal yang diberikan Allah SWT kepada Anda. Oleh karena itu, mohonlah pertolongan kepada Allah SWT agar kuat menghadapinya. Sesungguhnya Allah SWT tidak akan membebani seseorang di luar kemampuannya. Mohonlah kepada-Nya curahan kesabaran dan ketegaran, sebagaimana doa yang Allah SWT ajarkan dalam kitab suci-Nya, “Ya Allah, ya Tuhan kami, curahkanlah kepada kami kesabaran, teguhkanlah kaki-kaki kami, dan bantulah kami mengalahkan orang-orang kafir” (Q.S. Al-Baqarah: 250).

Doa dan kepasrahan mutlak kepada Allah SWT itulah yang merupakan benteng sekaligus senjata yang paling ampuh bagi Anda untuk menghadapi beban berat ini. Terlebih karena kata-kata dan nasihat Anda tidak didengar olehnya. Barangkali karena ia tidak berkenan mendengarnya dari Anda. Oleh karena itu, adukan saja semua ini kepada Allah SWT.

Kesabaran, kepasrahan, dan ketabahan semacam ini telah dicontohkan oleh Asiyah binti Muahim istri Fir’aun. Dapat  Anda bayangkan, seberat apakah beban yang dihadapi oleh Asiyah ini. Karena kesabarannya itulah, Allah menjadikanya sebagai salah satu dari empat perempuan ahli surga terbaik sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Perempuan ahli surga yang paling utama adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad SAW, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun,” (H.R. An Nasai).

Bahkan Rasulullah SAW juga menyebutnya sebagai perempuan yang mencapai kesempurnaan. Beliau SAW bersabda, “Dari kalangan laki-laki banyak yang mencapai kesempurnaan, dan tidak ada yang mencapai kesempurnaan dari kalangan perempuan selain Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun dan Maryam binti Imran” (H.R. Bukhari).

Upaya lain yang mungkin Anda lakukan adalah membuatnya berinteraksi lebih intens dengan kebaikan. Perbanyaklah bacaan Al-Qur’an dan ibadah lainnya di rumah Anda. Selain itu, tambah pula pergaulan Anda dengan orang-orang shalih. Dengan begitu secara tidak langsung ia akan terkondisikan dengan kebaikan. Dengan lingkungan yang kondusif selalu mengajak kepada kebaikan, tentu akan lebih mudah baginya untuk selalu diingatkan.

Bila semua upaya-upaya itu terasa masih kurang efektif maka dapat juga menggunakan alternatif dengan terapi ruqyah syar’iyyah dan bekam. Dengan kedua metode tersebut semoga sifat-sifat syaithaniyah yang bercokol di dalam dirinya dapat dibersihkan dan ia kembali ke jalan yang benar.

Demikian saran yang bisa saya sampaikan. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesabaran kepada Anda dan segera menyelesaikan segala permasalahan Anda sehingga mendapati pribadi suami yang jujur dan mau menegakkan sholat kembali. Insya Allah. Aamiin.

Ust. Jasiman, Lc

Cara Shalat bagi Wanita yang Keputihan

Pertanyaan : Assalamu’alaikum ustadz. Saya ingin bertanya. Jika seorang perempuan menderita keluhan keputihan yang keluar setiap hari dan keputihan tersebut keluar pada waktu shalat, bagaimana hukumnya? Begitu juga dengan jika pada shalat keluar angin dari farji’ lalu diulang lagi wudhunya, tetapi ketika shalat kembali ternyata masih keluar lagi. Bagaimana hukumnya ustadz? Terima kasih. Wassalamu’alaikum. (Wati, Tawangsari).

JAwaban : Saudari Wati yang dirahmati Allah SWT, semoga Allah SWT senantian menjaga Saudari karena perhatian Sudari yang begitu besar pada perkara shalat. Sebelum membahas mengenai permasalahan yang Saudari alami, ada baiknya kita mengetahui tentang najis, wudhu, serta keputihan itu sendiri.

Najis dan Hal-hal yang Membatalkan Wudlu.
Di antara hal-hal yang membatalkan wudlu, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab fiqh adalah keluarnya suatu benda melalui qubul (kemaluan) dan atau dubur (anus), baik berupa gas, cair, maupun padat. Maka jika keluar angin dalam hal ini kentut saat shalat, hukum shalat tersebut menjadi batal dikarenakan wudhunya batal. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan yaitu dengan mengulang wudhu tersebut dan segera melakukan shalat kembali. Usahakan untuk menahan kentut tersebut sekuat mungkin.

Keputihan
Para ulama mengatakan bahwa keputihan adalah darah penyakit. Dalam bab darah wanita, keputihan termasuk kelompok darah istihadhah. Darah istihadhah adalah satu jenis darah dari tiga jenis darah wanita. Darah yang lain adalah darah haidh dan darah nifas.

Penyebab Keputihan Abnormal
Keputihan adalah keluarnya cairan yang berlebihan dari vagina. Kadang-kadang disertai rasa gatal, terbakar di bibir vagina, atau bau busuk dan nyeri waktu berkemih atau senggama. Dalam keadaan tidak normal cairan tersebut dapat berubah menjadi kental, berwarna putih, kekuningan, keabuan sampai kehijauan. Baunya juga berbeda-beda, bisa tanpa bau, berbau seperti telur busuk atau anyir seperti ikan mentah.

Perubahan dalam keseimbangan bakteri dalam vagina bisa mempengaruhi warna, bau, dan juga tekstur dari keputihan. Di antara kondisi yang menyebabkan perubahan keseimbangan bakteri maupun kadar (pH) asam vagina adalah:
  •  Penggunaan antibiotik maupun streoid cukup lama sehingga menyebabkan bakteri “baik” penjaga pH vagina mati dan jamur tumbuh subur.
  •     Vaginosis bakterial, merupakan infeksi bakteri yang sering terjadi pada wanita hamil ataupun pada wanita yang memiliki banyak pasangan seksual.
  •     Pemakaian pil KB karena keseimbangan hormon terpengaruh dan terjadi ketidakseimbangan pH.
  •     Kanker serviks.
  •     Klamidia, gonorea, yang merupakan infeksi menular seksual.
  •     Diabetes tidak terkontrol sehingga kadar gula yang tinggi menyebabkan adanya gula dalam urin dan darah dan mengakibatkan bakteri tumbuh subur.
  •     Penggunaan sabun pencuci vagina karena mengganggu keseimbangan pH vagina.
  •     Trikomoniasis, infeksi parasit yang biasanya dikarenakan hubungan seks yang tidak aman.
  •     Atrofi vagina, penipisan dan kekeringan dinding vagina karena menopause.
  •     Vaginitis, merupakan kondisi peradangan dan iritasi sekitar vagina.
Cara Shalat Bagi Wanita yang Sering Keputihan

Berbeda dengan haidh dan nifas, darah istihadhah (keputihan) tidak diwajibkan mandi dan cukup mewajibkan wudhu’. Keputihan termasuk dalam najis sehingga selain wajib berwudhu’ juga wajib untuk dibersihkan seperti halnya air kencing. Jika keputihan itu mengenai pakaian, maka harus dibasuh/disucikan dan pakaian tersebut harus diganti ketika shalat. Agar tidak bolak-balik ganti pakaian, gunakan saja pembalut dan gantilah pembalut tersebut setiap akan shalat. Kalau keluarnya terus-menerus tanpa henti, maka setiap masuk waktu shalat dan akan melaksanakan shalat hendaknya ia berwudhu dan segera menunaikan shalatnya, baik untuk shalat wajib maupun shalat sunnah. Demikian juga jika hendak membaca Al-Qur’an, usahakan untuk dalam keadaan suci. Wanita dengan kondisi ini juga dibolehkan baginya untuk melakukan perkara-perkara yang mubah.

Adapun jika keputihan itu keluarnya terputus-putus, misalnya biasa terhenti pada waktu-waktu shalat, maka tunggu saja hingga cairan tersebut terhenti selama di dalam waktu shalat, sekalipun risikonya adalah dengan menunaikan shalat di akhir waktu. Jika khawatir tidak sempat shalat karena keluar waktu akibat terlalu lama menunggu cairan tersebut berhenti, maka sumbat saluran cairan tersebut, kemudian wudhu dan shalat. Dalam hal ini tidak ada bedanya cairan yang keluar sedikit atau banyak, karena semuanya keluar dari lubang kemaluan, maka berapapun jumlahnya tetap akan membatalkan wudhu.

Wallahu a’lamu bis showab.

Ust. Jasiman, Lc