Jumat, 21 Februari 2014

Suami Menikah Lagi Setiap Kali Istri Hamil

PERTANYAAN : Assalamu'alaikum ustadz, saya muslimah umur 38 tahun. Alhamdulillah saya telah dikarunia 4 orang anak laki-laki semua, dan saat ini tengah menanti kelahiran anak ke-5. Saya mau bertanya, bagaimana hukum seorang suami yang menikah diam-diam tanpa sepengetahuan istri pertama, setiap kali istrinya tersebut hamil. Sekarang istrinya sudah 4 termasuk saya, tapi yang 3 lagi dia sembunyikan. Yang ingin saya tanyakan, apa yang harus saya lakukan ustadz? Apakah saya menuntut cerai atau berpura-pura terus taat sama suami saya ? Syukron

JAWABAN : Wa'alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh. Pertama kalinya saya sampaikan kepada Ibu, selamat menjalankan kemuliaan berlimpah pahala 'jihad'nya seorang wanita yaitu persalinan, semoga Allah SWT memberikan kemudahan, kelancaran dan keselamatan.

Berikutnya saya turut prihatin dengan kondisi serta kegelisahan yang ibu hadapi, apalagi senantiasa berulang-ulang terus dalam setiap kesempatan. Dalam masalah yang ibu tanyakan, ada beberapa hal yang perlu rasanya kita perdalam dan perjelas, antara lain sebagai berikut :

PERTAMA : Tentang hukum suami menikah diam-diam tanpa sepengetahuan istri.
Secara syariah memang tidak ada syarat dalam pernikahan kedua atau ketiga dan seterusnya disebutkan ijin atau sepengetahuan suami. Pernikahan pertama dan berikutnya dalam Islam mempunyai rukun yang sama, ada pengantian pria, wali nikah, ijab kabul dan mahar. Syarat ijin istri ketika suami akan menikah lagi memang hanya ada di dalam undang-undang perkawinan di Indonesia.

Namun meskipun tidak memerlukan ijin dari istri, bagi suami seyogyanya sejak awal mengkondisikan istri, memberitahukan dan menjelaskan alasan-alasan yang dimiliki, karena ini merupakan termasuk anjuran dalam husnul muasyaroh atau muasyaroh bilmakruf , yaitu bentuk pergaulan dan interaksi yang baik, sebagaimana diamanahkan oleh Al-Quran : " Dan pergauilah mereka (istri-istrimu) secara patut (baik) " (QS An-Nisa 19).
Apalagi jika ternyata hal tersebut dilakukan saat istri hamil, yang tentulah semestinya membutuhkan perhatian yang lebih dari suaminya.  Jika sejak awal suami mempunyai niatan yang baik dalam pernikahannya yang kedua, tentunya niatan tersebut harus diikuti dengan kesiapan dan tanggung jawab untuk memberitahu dan mengkondisikan keluarganya yang lain.

Kembali ke aturan undang-undang perkawinan, tentang syarat ijin istri saat suami menikah lagi sebenarnya bukanlah produk peraturan di Indonesia saja, peraturan yang dibuat di banyak negara timur tengah -yang nota bene lebih kuat kajian keislamannya- juga menyebutkan tentang syarat ijin istri saat suami menikah lagi. Hal ini sebenarnya tidak bisa kita lihat sebagai hal yang berlebihan atau menyalahi syariat, karena yang dilakukan pemerintah tersebut adalah langkah untuk menjaga maslahah dan mencegah mafsadat. Mungkin saja berdasarkan pengalaman dan kasus yang ada selama ini. Contoh mafsadat yang dimaksud misalnya, banyak kasus poligami tanpa ijin istri ternyata kemudian melahirkan perceraian demi perceraian. Hal semacam ini mirip dengan aturan pencatatan pernikahan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menjaga hak-hak istri dan anak-anaknya, meskipun syariat tidak pernah secara spesifik menyebutkan.

Jadi pada titik ini, pernikahan kedua, ketiga dan keempat yang dilakukan suami Ibu tanpa ijin dan pemberitahuan kepada ibu, secara hukum Islam tetap sah adanya, selama rukun-rukun  pernikahan benar-benar dijalankan. Namun memang suami ibu tetap saja ‘kurang pantas’ jika melakukan tersebut (nikah lagi diam-diam), mengingat ia melanggar dua hal sebagaimana saya sebutkan di atas tadi, yaitu adab pergaulan suami-istri (muasyaroh bil makruf) dan juga aturan dari ulil amri yang berdasarkan asas kemanfaatan atau maqoshid syariah.

KEDUA : Tentang Suami menikah lagi setiap kali istri sedang hamil
Hal kedua yang ingin saya cermati tentang ungkapan ibu bahwa suami menikah setiap kali istri hamil. Tentu saja –jika hal ini benar- adalah sesuatu yang kurang tepat, karena sebagaimana saya sebutkan di awal, masa-masa mengandung tentu seharusnya suami harus lebih memberikan perhatian dan kasih sayang kepada istrinya, bukan malah mencari pelarian atau ‘saluran’ yang lain, meskipun secara syariah itu dimungkinkan.
Namun hendaknya perlu diperjelas, apakah suami menikah lagi karena urusan ibu sedang hamil, sehingga tidak bisa secara optimal melayani kebutuhan suami, ataukah karena sebab lainnya ? Karena bagi saya sungguh agak terdengar aneh dan janggal. Ketika pernikahan kedua dilakukan untuk memenuhi kebutuhan seksual karena istri pertama hamil, maka mungkin hal itu agak-agak bisa dimaklumi. Namun bagaimana dengan pernikahan ketiga dan keempat suami ibu, apakah juga dengan alasan yang sama ? sementara saat itu ia juga sudah mempunyai istri lain yang sedang tidak hamil ?  Sampai dititik ini hendaknya ada penjelasan dan kejelasan.

Walau bagaimanapun alasannya, dalam kasus ibu tetap saja kita bisa mengambil pelajaran bahwa suami Ibu sebagaimana laki-laki normal yang lainnya, memang diberi anugerah kelebihan berupa ‘semangat’ dalam pemenuhan kebutuhan seksual. Dan ini adalah hal fitrah yang diakui dalam syariah kita,  karenanya senantiasa memang seorang istri dituntut untuk siap ‘online 24 jam’ untuk melayani kebutuhan seksual suaminya. Tentu saja dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Rasulullah SAW bersabda : "Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, kemudian istrinya tidak datang kepadanya, dan suaminya pun marah kepadanya pada malam itu, maka istrinya dilaknat para malaikat hingga pagi harinya." (Muttafaq Alaih).

Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk memenuhi kebutuhannya, hendaknya si istri mendatanginya meski ia sedang berada di dapur.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i)

Mungkin potensi seksual yang berlebih pada kaum laki-laki inilah yang menjadi salah satu hikmah ‘kebolehan’ poligami dalam Islam, agar para suami tidak terjerumus pada perselingkuhan, pada saat-saat istrinya tidak memberikan layanan optimal, saat haid, sakit atau mengandung misalnya.  Namun tentu sejatinya ‘kurang pantas’ jika poligami kemudian selalu diarahkan ke pemenuhan kebutuhan seksual yang berlebih saja, hendaknya ada niatan dan tujuan lain yang mulia dan selaras dengan syariah Islam.

Dan yang perlu dicatat juga, bahwa pemenuhan kebutuhan seksual tidak harus selalu dengan hubungan badan (jimak), khususnya saat istri haid, sakit atau mengandung. Ada banyak ragam variasi cara yang bisa dipelajari suami istri dan dipraktekan selama tidak menyalahi ketentuan atau adab dalam hubungan suami istri. Contohnya saat haid, Rasulullah SAW memprovokasi kita untuk tetap romantis dan bermesraan kepada istri dengan mengatakan : “ perbuatlah apapun sesukamu, yang penting jangan jimak “

KETIGA : Apakah yang harus ibu lakukan setelah ini ?
Tentang apakah yang harus dilakukan ; menuntut cerai atau berpura-pura taat pada suami padahal hati kecewa dan remuk redam ? Maka hal tersebut hanya bisa dijawab melalui dua pertanyaan juga : yang pertama, apakah selama ini ada perilaku suami ibu yang jelas-jelas melanggar syariah atau bermaksiat ? seperti meninggalkan sholat, tidak memberi nafkah, dan gemar mabuk-mabukan misalnya ? Karena yang saya tangkap dalam pertanyaan ibu,  ‘hanya’ soal suami ibu menikah sembunyi-sembunyi yang ibu permasalahkan, selain itu ibu tidak mengeluhkan kelakuan dan perilaku lain yang membuat ibu kecewa. Jika memang demikian adanya, saya mencoba berhusnudzhon bahwa suami ibu masuk kategori muslim yang taat dan komitmen terhadap Islam dan keluarga secara umum. Jika benar ini adanya, maka alasan Ibu untuk menuntut cerai karena suami menikah diam-diam, rasanya menjadi terlalu lemah dan kurang tepat.

Pertanyaan kedua yang layak untuk diajukan adalah : Apakah ibu masih mencintai suami ibu, sayang dan cemas jika terjadi padanya sesuatu hal yang tidak diinginkan ? . Jika rasa cinta itu masih ada dan kokoh, tidak berganti dengan kebencian tanpa alasan, maka sungguh ini adalah anugerah sekaligus amanah dari Allah SWT yang harus tetap dijaga dengan kuat oleh masing-masing pasangan. Soal teknis lain-lain masih bisa dibincangkan dan diselesaikan, selama rasa cinta itu masih ada. Masalah akan terus ada dan senantiasa datang silih berganti, namun cinta suami istri bisa menjadi energi untuk bersama-sama menghadapi dan menyelesaikannya.

Hatta Syamsuddin, Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar