Kamis, 27 Februari 2014

Menqodho Dulu atau Puasa Sunnah ?

Saya masih hutang puasa Ramadhan tahun ini. Ketika tanggal 9 Dzulhijah atau 10 Muharam, lebih baik saya niat untuk melunasi hutang puasa Ramadhan atau niat puasa sunah? (Santi, Tegal)

Ibu Santi di Tegal yang dimuliakan Allah,
Sungguh merupakan rahmat dan kebijaksanaan Allah SWT manakala memberi kesempatan kepada orang-orang yang tidak dapat menunaikan kewajiban pada waktunya untuk melakukannya di waktu lain. Syariat yang demikian lazim disebut sebagai qadha. Allah tidak mungkin membebani hamba-Nya dengan hal-hal yang tidak mungkin dilaksanakan.
Tentang hal ini Allah swt. berfirman, “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,” (QS. Al Baqarah : 184)

Bagaimana melaksanakan qadha puasa Ramadhan ketika Anda juga ingin melakukan puasa sunnah?
Afdhalnya adalah segera menunaikannya apabila mampu karena hutang kepada Allah lebih berhak untuk segera dilunasi. Namun menurut hemat saya, kita dapat mengerjakan kedua amal tersebut tanpa harus bingung mau mendahulukan yang mana. Demikian itu karena mengqadha puasa Ramadhan termasuk wajibun ‘ala at taraakhi walaisa ‘alal fauri (kewajiban dengan rentang waktu yang longgar dan tidak harus segera), karena waktunya sebelas bulan yakni sampai bulan Sya’ban yang akan datang.
Pada saat kita menunaikannya pada waktunya dan waktu untuk melaksanakan qadha puasa Ramadhan itu sebelas bulan, maka tidak berdosa meskipun pelaksanaannya di bulan Sya’ban misalnya.
Disebutkan dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad bahwa Aisyah r.a. dulu mengqadha kewajiban puasa Ramadhannya di bulan Sya’ban dan tidak mengqadhanya segera pada saat mampu.

Di samping itu, dalam pelaksanaannya juga tidak harus berturut-turut. Imam Ad Daruqutni meriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa Nabi saw. bersabda tentang qadha Ramadhan, “Kalau dia mau dia melakukannya terisah-pisah, kalau mau boleh juga berturut-turut.
Untuk itu, pelaksanaan qadha puasa Ramadhan dapat dicicil terpisah-pisah di luar hari-hari tertentu yang disebut sebagai hari puasa sunnah. Dengan begitu Anda akan mendapat fadhilah dan pahala dari seluruh kesempatan berpuasa itu.

Masalah lain adalah bagaimana halnya kalau sampai bulan Sya’bannya habis ia belum menunaikan qadha itu. Para ulama berijtihad dan terdapat 3 pendapat berbeda:

1. Jumhur ulama berpendapat bahwa barangsiapa menunda qadha puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya maka ia wajib membayar fidyah yaitu memberi makan satu orang miskin setiap hari yang ia tidak puasa secukupnya, makan siang dan makan malam. Fidyah ini lebih ditekankan apabila penundaan tersebut dilakukan tanpa ada uzur.
Mereka mendasarkan hukum ini kepada hadits mauquf pada Abu Hurairah r.a. Artinya, ini hanya ucapan Abu Hurairah dan bukan sabda Rasulullah SAW.

2. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban membayar fidyah apabila ia mengqadha. Demikian itu karena berkenaan dengan orang-orang yang sakit dan musafir. Allah SWT berfirman, “Maka ia mengqadha pada hari yang lain” dan tidak memerintahkan fidyah. Hadits yang diriwayatkan tentang kewajiban fidyah itu dhaif dan tidak dapat dijadikan sebagai dalil.
Imam As Syaukani dalam Nailul Authar menguatkan pendapat ini dengan mengatakan bahwa tidak ada hadits yang kuat dari Nabi SAW tentang hal ini. Perkataan sahabat bukan hujjah. Pilihan jumhur ulama pada suatu pendapat tidak selalu menunjukkan bahwa ia benar, sementara memang tidak ada beban hingga ada dalil yang menunjukkan hal itu. Nah, di sini tdk ada dalil, maka secara zhahir tidak wajib.

3. Imam Syafi’i berkata bahwa kalau penundaan qadha itu terjadi karena uzur maka tidak ada fidyah; kalau tidak ada uzur maka wajib membayar fidyah. Pendapat inilah yang moderat di antara dua pendapat sebelumnya meskipun hadits dhaif atau mauquf yang menyebut tentang disyariatkannya kafarat (fidyah) itu tidak membedakan antara ada uzur dan tidak ada uzur. Barangkali pendapat ini pula yang dapat melegakan hati karena mengakomodasi perbedaan pendapat dengan satu format baru.

Ust. Jasiman, Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar