Saya masih hutang puasa
Ramadhan tahun ini. Ketika tanggal 9 Dzulhijah atau 10 Muharam, lebih
baik saya niat untuk melunasi hutang puasa Ramadhan atau niat puasa
sunah? (Santi, Tegal)
Ibu Santi di Tegal yang dimuliakan Allah,
Sungguh merupakan rahmat dan
kebijaksanaan Allah SWT manakala memberi kesempatan kepada orang-orang
yang tidak dapat menunaikan kewajiban pada waktunya untuk melakukannya
di waktu lain. Syariat yang demikian lazim disebut sebagai qadha. Allah
tidak mungkin membebani hamba-Nya dengan hal-hal yang tidak mungkin
dilaksanakan.
Tentang hal ini Allah swt. berfirman, “(yaitu)
dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada
yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,
maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui,” (QS. Al Baqarah : 184)
Bagaimana melaksanakan qadha puasa Ramadhan ketika Anda juga ingin melakukan puasa sunnah?
Afdhalnya adalah segera menunaikannya
apabila mampu karena hutang kepada Allah lebih berhak untuk segera
dilunasi. Namun menurut hemat saya, kita dapat mengerjakan kedua amal
tersebut tanpa harus bingung mau mendahulukan yang mana. Demikian itu
karena mengqadha puasa Ramadhan termasuk wajibun ‘ala at taraakhi walaisa ‘alal fauri (kewajiban dengan rentang waktu yang longgar dan tidak harus segera), karena waktunya sebelas bulan yakni sampai bulan Sya’ban yang akan datang.
Pada saat kita menunaikannya pada
waktunya dan waktu untuk melaksanakan qadha puasa Ramadhan itu sebelas
bulan, maka tidak berdosa meskipun pelaksanaannya di bulan Sya’ban
misalnya.
Disebutkan dalam Shahih Muslim dan
Musnad Ahmad bahwa Aisyah r.a. dulu mengqadha kewajiban puasa
Ramadhannya di bulan Sya’ban dan tidak mengqadhanya segera pada saat
mampu.
Di samping itu, dalam pelaksanaannya
juga tidak harus berturut-turut. Imam Ad Daruqutni meriwayatkan dari
Ibnu Umar ra. bahwa Nabi saw. bersabda tentang qadha Ramadhan, “Kalau dia mau dia melakukannya terisah-pisah, kalau mau boleh juga berturut-turut.”
Untuk itu, pelaksanaan qadha puasa
Ramadhan dapat dicicil terpisah-pisah di luar hari-hari tertentu yang
disebut sebagai hari puasa sunnah. Dengan begitu Anda akan mendapat
fadhilah dan pahala dari seluruh kesempatan berpuasa itu.
Masalah lain adalah bagaimana halnya
kalau sampai bulan Sya’bannya habis ia belum menunaikan qadha itu. Para
ulama berijtihad dan terdapat 3 pendapat berbeda:
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa
barangsiapa menunda qadha puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan
berikutnya maka ia wajib membayar fidyah yaitu memberi makan satu orang
miskin setiap hari yang ia tidak puasa secukupnya, makan siang dan makan
malam. Fidyah ini lebih ditekankan apabila penundaan tersebut dilakukan
tanpa ada uzur.
Mereka mendasarkan hukum ini kepada
hadits mauquf pada Abu Hurairah r.a. Artinya, ini hanya ucapan Abu
Hurairah dan bukan sabda Rasulullah SAW.
2. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa
tidak ada kewajiban membayar fidyah apabila ia mengqadha. Demikian itu
karena berkenaan dengan orang-orang yang sakit dan musafir. Allah SWT
berfirman, “Maka ia mengqadha pada hari yang lain” dan tidak
memerintahkan fidyah. Hadits yang diriwayatkan tentang kewajiban fidyah
itu dhaif dan tidak dapat dijadikan sebagai dalil.
Imam As Syaukani dalam Nailul Authar
menguatkan pendapat ini dengan mengatakan bahwa tidak ada hadits yang
kuat dari Nabi SAW tentang hal ini. Perkataan sahabat bukan hujjah.
Pilihan jumhur ulama pada suatu pendapat tidak selalu menunjukkan bahwa
ia benar, sementara memang tidak ada beban hingga ada dalil yang
menunjukkan hal itu. Nah, di sini tdk ada dalil, maka secara zhahir
tidak wajib.
3. Imam Syafi’i berkata bahwa kalau
penundaan qadha itu terjadi karena uzur maka tidak ada fidyah; kalau
tidak ada uzur maka wajib membayar fidyah. Pendapat inilah yang moderat
di antara dua pendapat sebelumnya meskipun hadits dhaif atau mauquf yang
menyebut tentang disyariatkannya kafarat (fidyah) itu tidak membedakan
antara ada uzur dan tidak ada uzur. Barangkali pendapat ini pula yang
dapat melegakan hati karena mengakomodasi perbedaan pendapat dengan satu
format baru.
Ust. Jasiman, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar