Minggu, 23 Februari 2014

Membuka Aib Saat Taaruf

Pertanyaan : Assalamu’alaikum Ustadz. Saya ingin menanyakan di majalah Embun edisi Maret pada rubrik konsultasi syariah disebutkan bahwa aib boleh disebutkan pada waktu ta’aruf. Apakah benar demikian, Ustadz? Karena ada yang mengira bahwa Allah menutup aib seseorang, jadi kita tidak boleh membuka aib. Begitu, Ustadz. Mohon penjelasannya. Jazakumullah khoiron.

Jawaban : Pada edisi Embun sebelumnya, seorang pembaca menanyakan tentang sejauh mana perkenalan yang disampaikan ketika ta’aruf. Saya memberikan jawaban bahwa aib atau cacat boleh juga disebutkan saat Anda ta’aruf dengan catatan tidak berlebihan hingga akhirnya Anda tidak pernah menikah. Saya mengatakan bahwa pengenalan lebih detail yang dilakukan dengan jujur dan tulus di depan lebih baik daripada menimbulkan penyesalan di kemudian hari.

Sebagian pembaca mempertanyakan jawaban saya tentang kejujuran dalam proses ta’aruf sebelum menikah tersebut. Hal ini sudah saya prediksi sebelumnya bahwa pasti akan ada perbedaan pendapat. Dalam hal ini kita dihadapkan pada dua hal yang sangat dilematis yaitu antara dua hal yang bertentangan secara diametral. Apakah kita akan jujur atau justru berdusta. Tentunya kedua pilihan yang bertentangan itu memiliki risikonya masing-masing.

Ta’aruf merupakan upaya untuk saling mengenali calon pasangan yang akan menjadi pendamping hidupnya. Bukan hanya pendamping hidup sampai “kaken-kaken ninen-ninen”, melainkan sampai ke akhirat nanti. Karena itu, pada saat menyadari bahwa ada aib (cacat) dalam dirinya, seseorang akan takut menghadapi risiko yang mungkin akan berpengaruh pada pernikahannya.
Ketakutan yang paling besar adalah risiko jika aib itu disampaikan jangan-jangan justru tidak jadi menikah, bahkan lebih dari itu bisa saja aibnya dikabarkan kepada orang lain. Kalau itu yang terjadi, ia rugi dua kali: selain aibnya diketahui orang lain yang mungkin tidak dapat menyimpan rahasianya, dia sendiri juga tidak jadi menikah.

Kalau tidak disampaikan secara jujur, ada perasaan takut juga kalau setelah menikah nanti kemudian pasangannya mengetahui aibnya itu lalu ia dicerai. Ini juga tidak ringan. Setelah bercerai, orang akan bertanya kenapa ia dicerai atau bercerai. Begitulah seterusnya, tidak akan pernah habis. Kalau ia takut dengan kedua risiko itu kemudian memilih untuk tidak pernah menikah, ini juga tidak benar. Di samping itu juga dipertanyakan mengapa ia tidak mau nikah.

Kesulitan dalam mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi realitas yang tidak sejalan dengan idealisme seperti ini bukan hanya terjadi dalam dunia pernikahan. Karena itu, syariat memberikan rukhsoh (dispensasi) yang memberikan pemakluman kepada seseorang pada realitas waktu dan tempat tertentu untuk tidak mengambil yang ideal. Dalam realitas yang tidak ideal itu, yang benar bisa jadi tidak tepat dan yang haram bisa jadi halal.

Contoh yang benar jadi tidak tepat adalah pada saat berada di medan perang. Apa jadinya bila kita jujur kepada musuh? Adapun contoh yang haram jadi halal adalah ketika tidak ada makanan halal sementara Anda harus mempertahankan hidup. Realitas tidak ideal yang mengijinkan kita untuk mengambilnya itulah yang lazim disebut dengan kondisi darurat. Namun harus diperhatikan bahwa darurat itu harus diukur sesuai dengan kadarnya, tidak berlebihan, dan tidak pula terkesan dicari-cari.

Dalam pernikahan, seringkali kita mendapati hal-hal yang tidak ideal itu, sejak awal hingga akhir. Hanya cinta dan ketulusanlah yang dapat menerimanya dengan bijaksana. Cacat (aib) termasuk dalam realitas yang tidak ideal itu. Sikap paling arif dan ideal adalah menyembuhkannya atau menghilangkannya terlebih dahulu. Bila tidak mungkin, di situlah kearifan kedua mengambil peran, bahwa kita sementara waktu harus menurunkan bahkan mengorbankan sedikit atau banyak idealisme kita agar tetap bisa berjalan.

Hal lain yang perlu kita catat adalah bahwa semangat kita mengimplementasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan kadang tidak diimbangi dengan ilmu yang cukup dan sikap yang bijak. Dalam ta’aruf ini misalnya, kejujuran dan keterbukaan mengenalkan diri dan keluarga kepada calon pasangan sangat menentukan keberlangsungan dan keharmonisan rumah tangga mereka. Namun harus diperhatikan bahwa dalam waktu yang sama, sebagian informasi tentang pasangan kadang merupakan aib (rahasia) yang kita juga diperintahkan untuk menutupinya. Karena itu, mau disampaikan secara jujur atau tidak aib itu, perlu diperhatikan aib apa dan kepada siapakah ia boleh disampaikan, termasuk bagaimana pula cara menyampaikannya.

Ust. Jasiman, Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar