Pertanyaan : Assalamu’alaikum Ustadz.
Saya ingin menanyakan di majalah Embun edisi Maret pada rubrik
konsultasi syariah disebutkan bahwa aib boleh disebutkan pada waktu
ta’aruf. Apakah benar demikian, Ustadz? Karena ada yang mengira bahwa
Allah menutup aib seseorang, jadi kita tidak boleh membuka aib. Begitu,
Ustadz. Mohon penjelasannya. Jazakumullah khoiron.
Jawaban : Pada edisi Embun sebelumnya, seorang pembaca menanyakan tentang sejauh mana perkenalan yang disampaikan ketika ta’aruf.
Saya memberikan jawaban bahwa aib atau cacat boleh juga disebutkan saat
Anda ta’aruf dengan catatan tidak berlebihan hingga akhirnya Anda tidak
pernah menikah. Saya mengatakan bahwa pengenalan lebih detail yang
dilakukan dengan jujur dan tulus di depan lebih baik daripada
menimbulkan penyesalan di kemudian hari.
Sebagian pembaca mempertanyakan jawaban saya tentang kejujuran dalam proses ta’aruf
sebelum menikah tersebut. Hal ini sudah saya prediksi sebelumnya bahwa
pasti akan ada perbedaan pendapat. Dalam hal ini kita dihadapkan pada
dua hal yang sangat dilematis yaitu antara dua hal yang bertentangan
secara diametral. Apakah kita akan jujur atau justru berdusta. Tentunya
kedua pilihan yang bertentangan itu memiliki risikonya masing-masing.
Ta’aruf merupakan upaya untuk
saling mengenali calon pasangan yang akan menjadi pendamping hidupnya.
Bukan hanya pendamping hidup sampai “kaken-kaken ninen-ninen”, melainkan
sampai ke akhirat nanti. Karena itu, pada saat menyadari bahwa ada aib
(cacat) dalam dirinya, seseorang akan takut menghadapi risiko yang
mungkin akan berpengaruh pada pernikahannya.
Ketakutan yang paling besar adalah
risiko jika aib itu disampaikan jangan-jangan justru tidak jadi menikah,
bahkan lebih dari itu bisa saja aibnya dikabarkan kepada orang lain.
Kalau itu yang terjadi, ia rugi dua kali: selain aibnya diketahui orang
lain yang mungkin tidak dapat menyimpan rahasianya, dia sendiri juga
tidak jadi menikah.
Kalau tidak disampaikan secara jujur,
ada perasaan takut juga kalau setelah menikah nanti kemudian pasangannya
mengetahui aibnya itu lalu ia dicerai. Ini juga tidak ringan. Setelah
bercerai, orang akan bertanya kenapa ia dicerai atau bercerai. Begitulah
seterusnya, tidak akan pernah habis. Kalau ia takut dengan kedua risiko
itu kemudian memilih untuk tidak pernah menikah, ini juga tidak benar.
Di samping itu juga dipertanyakan mengapa ia tidak mau nikah.
Kesulitan dalam mengambil sikap yang
tepat dalam menghadapi realitas yang tidak sejalan dengan idealisme
seperti ini bukan hanya terjadi dalam dunia pernikahan. Karena itu,
syariat memberikan rukhsoh (dispensasi) yang memberikan
pemakluman kepada seseorang pada realitas waktu dan tempat tertentu
untuk tidak mengambil yang ideal. Dalam realitas yang tidak ideal itu,
yang benar bisa jadi tidak tepat dan yang haram bisa jadi halal.
Contoh yang benar jadi tidak tepat
adalah pada saat berada di medan perang. Apa jadinya bila kita jujur
kepada musuh? Adapun contoh yang haram jadi halal adalah ketika tidak
ada makanan halal sementara Anda harus mempertahankan hidup. Realitas
tidak ideal yang mengijinkan kita untuk mengambilnya itulah yang lazim
disebut dengan kondisi darurat. Namun harus diperhatikan bahwa darurat
itu harus diukur sesuai dengan kadarnya, tidak berlebihan, dan tidak
pula terkesan dicari-cari.
Dalam pernikahan, seringkali kita
mendapati hal-hal yang tidak ideal itu, sejak awal hingga akhir. Hanya
cinta dan ketulusanlah yang dapat menerimanya dengan bijaksana. Cacat
(aib) termasuk dalam realitas yang tidak ideal itu. Sikap paling arif
dan ideal adalah menyembuhkannya atau menghilangkannya terlebih dahulu.
Bila tidak mungkin, di situlah kearifan kedua mengambil peran, bahwa
kita sementara waktu harus menurunkan bahkan mengorbankan sedikit atau
banyak idealisme kita agar tetap bisa berjalan.
Hal lain yang perlu kita catat adalah
bahwa semangat kita mengimplementasikan nilai-nilai agama dalam
kehidupan kadang tidak diimbangi dengan ilmu yang cukup dan sikap yang
bijak. Dalam ta’aruf ini misalnya, kejujuran dan keterbukaan
mengenalkan diri dan keluarga kepada calon pasangan sangat menentukan
keberlangsungan dan keharmonisan rumah tangga mereka. Namun harus
diperhatikan bahwa dalam waktu yang sama, sebagian informasi tentang
pasangan kadang merupakan aib (rahasia) yang kita juga diperintahkan
untuk menutupinya. Karena itu, mau disampaikan secara jujur atau tidak
aib itu, perlu diperhatikan aib apa dan kepada siapakah ia boleh
disampaikan, termasuk bagaimana pula cara menyampaikannya.
Ust. Jasiman, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar